Mimpi Anak Kampung

Oleh: Nadiayanti Darwan
(Mahasiswa Prodi Ilmu Administrasi Negara, UMMU Ternate)

 

Hari masih pagi sekali ketika saya berdiri di halaman kampus untuk pertama kalinya, untuk mengikuti kegiatan P2KK di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) Ternate. Udara di Kota Ternate terasa dingin di pagi itu, sedikit berbeda dengan kampung halaman yang lebih hangat karena dikelilingi pepohonan.

Saya memandang ke sekeliling ribuan mahasiswa baru dengan wajah-wajah canggung, sebagian tertawa kecil bersama teman barunya, sebagian lagi diam sambil menunduk karena belum berani berkenalan.
Saya termasuk kelompok kedua untuk mengikuti P2KK. Perasaan gugup dan takut bercampur jadi satu, tetapi ada juga rasa bangga karena akhirnya saya bisa sampai di titik ini.

Instruktur P2KK memberi kami arahan dengan suara lantang. “Kalian adalah mahasiswa sekarang! Ingat, kalian bukan lagi siswa SMA. Mahasiswa berarti tanggung jawab, kedisiplinan, dan kepedulian pada masyarakat. Kalimat itu terus terngiang di telinga saya. Sejak saat itu saya sadar, status mahasiswa bukan hanya soal kuliah dan nilai, tapi tentang peran besar yang suatu hari harus saya jalani.

Proses P2KK sangar padat. Kami harus bangun lebih pagi, mengikuti materi seharian penuh, lalu kembali ke kosan dengan badan lelah. Tetapi di balik rasa cape itu, banyak hal berharga saya dapatkan.

Saya belajar kerja sama lewat diskusi kelompok, belajar mengalah ketika ada perbedaan pendapat. Ada momen ketika saya hampir menyerah karena merasa terlalu berat, tapi teman-teman baru selalu menguatkan.
“Kita sama-sama kuat,” kata seorang teman SMA saya sambil menepuk bahu. Dukungan sederhana itu membuat saya bertahan.

Namun, di tengah sibuknya kegiatan, pikiran saya sering melayang ke kampung halaman. Saya teringat wajah keluarga, teringat jalan tanah yang sering berlumpur ketika hujan, teringat anak-anak kecil yang berlari tanpa alas kaki, bahkan teringat teman sebaya yang tidak bisa melanjutkan sekolah karena orang tua mereka kesulitan biaya.

Hati saya sering terasa perih. Saya ingin sekali suatu hari kembali membawa perubahan. Saya tahu, saya belum bisa melakukan apa-apa sekarang, tetapi saya percaya pendidikan adalah kunci. Itulah mengapa saya harus sungguh-sungguh kuliah.

Perjalanan saya dari kampung menuju Ternate untuk kuliah adalah cerita panjang yang penuh kenangan. Malam sebelum berangkat, suasana rumah kami penuh haru. Mama menyiapkan pakaian saya, melipat dengan rapi sambil sesekali menyeka air matanya. Papa duduk di kursi plastik, menatap saya dengan mata yang dalam.
“Kaka, jangan sia-siakan kesempatan ini. Belajarlah sungguh-sungguh. Kami mungkin tidak bisa memberikan banyak, tapi doa mama dan papa selalu untuk anak perempuannya,” kata ayah.

Saya hanya bisa mengangguk, menahan tangis yang sudah menggenang di pelupuk mata. Esoknya, perjalanan menuju pelabuhan pun di mulai, jalan desa yang berkelok dan penuh lubang membuat perjalanan darat terasa lama.
Perjalanan darat menuju pelabuhan saja sudah melelahkan, ditambah lagi harus menyeberangi laut dengan kapal. Kadang cuaca laut tidak bersahabat, namun semua itu saya jalani dengan penuh kesabaran. Saat kapal merapat di pelabuhan Ternate, mata saya berbinar.

Kota ini ramai, penuh dengan kendaraan, suara klakson, dan orang-orang dengan berbagai kesibukan. Sangat berbeda dengan kampung saya yang tenang. Saya sadar, hidup di Ternate harus belajar mandiri.

Tidak ada lagi orang tua yang setiap pagi membangunkan saya, tidak ada lagi keluarga yang menyiapkan makanan. Semua harus saya lakukan sendiri. Rasa takut memang ada, tetapi semangat untuk mewujudkan mimpi jauh lebih besar.

Kemudian saya mendaftar di kampus, Administrasi Negara adalah jurusan saya. Banyak orang bertanya. Kenapa pilih jurusan itu? jawaban saya sederhana; karena saya ingin mengerti bagaimana pemerintah bekerja. Saya ingin tahu bagaimana pelayanan publik bisa berjalan dengan baik, bagaimana kebijakan bisa dibuat untuk kepentingan masyarakat, dan bagaimana negara hadir untuk rakyatnya. Saya percaya, dengan jurusan ini saya bisa membekali diri untuk suatu saat mengabdi kepada kampung halaman saya.

Hari-hari kuliah tidak selalu mudah. Tugas menumpuk, presentasi yang menegangkan, hingga perbedaan pendapat dengan teman kadang membuat lelah. Tapi setiap kali rasa putus asa datang, saya selalu mengingat kembali pesan orang tua dan wajah saudara di kampung. Mereka adalah alasan saya tetap bertahan. Mereka adalah motivasi terbesar saya untuk melanjutkan perjalanan ini.

Dari P2KK hingga kini di Administrasi Negara, saya belajar bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang mengejar gelar sarjana. Ini tentang perjuangan, tentang pengorbanan, dan tentang harapan. Saya ingin membuktikan bahwa anak kampung juga bisa bermimpi besar, anak kampung juga bisa berdiri sejajar dengan orang lain, dan anak kampung juga bisa menjadi agen perubahan bagi daerahnya.

Perjalanan saya masih panjang, dan saya tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi saya yakin, dengan tekad dan doa orang tua, saya bisa melewati semuanya. Dari kampung menuju Ternate, dari P2KK hingga Administrasi Negara, inilah kisah saya. Sebuah perjalanan penuh air mata, tawa, dan harapan. Sebuah perjalanan yang akan terus saya jalani hingga mimpi saya benar-benar terwujud.***

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini