PT. NKA antara Citra dan Lumpur
Oleh: M. Said Marsaoly
(Pegiat Salawaku Institute, Bermukim di Teluk Buli Halmahera Timur)
Pesisir Moronopo menyimpan cerita yang tak bisa dibungkam oleh plakat penghargaan mana pun. Lumpur berwarna coklat kemerahan merayap di dalam sungai ke laut itu, sedimen yang menutup akar-akar mangrove itu sudah tentu mengaburkan kejernihan air dan mengganggu biota laut.
Inilah wajah yang jarang tampil di panggung penghormatan perusahaan: wajah yang ditutupi oleh citra. Dalam teori komunikasi korporasi, Charles Fombrun pernah menyebut citra perusahaan sebagai “aset tak kasat mata” yang menentukan legitimasi. Tetapi ia juga mengingatkan, citra itu rapuh: bisa runtuh seketika bila bertemu kenyataan. PT NKA mungkin ingin dikenang sebagai teladan K3 dan keberlanjutan. Namun di mata nelayan yang jaringnya kotor oleh lumpur, mangrove yang mati, citra itu hanyalah retorika.
Ironisnya, pada 27-28 Agustus 2025, di Prama Hotel, Sanur, Bali., PT NKA menerima tiga penghargaan bergengsi di ajang OSH Asia’s Summit 2025. Mereka dinobatkan sebagai “The Best Process Safety Management”, “The Best Continuous Improvement of an OSH Management Performance”, dan bahkan sang General Manager, La Ode Muhammad Mustakim, diganjar gelar “The Best Leadership on OSH Culture”. Seremoni itu berlangsung di hotel mewah, dengan juri independen yang katanya menilai secara objektif, dan dengan tema besar: “Strengthening Occupational Health and Safety in Business Sustainability”. Sebuah panggung simbolik, penuh kata-kata mulia tentang keselamatan dan keberlanjutan.
Dalam pidatonya, La Ode berkata: “Ini menjadi motivasi bagi kami, untuk terus meningkatkan penerapan budaya K3 di seluruh lini perusahaan. Tidak hanya sebagai kewajiban regulasi, tetapi sebagai bagian dari komitmen kami terhadap keberlanjutan bisnis dan kesejahteraan seluruh pekerja.”
Kata-kata ini terdengar indah, penuh janji dan tekad. Tetapi di hadapan pesisir Moronopo yang keruh, ia berubah menjadi ironi. Bagaimana bicara tentang “keberlanjutan” bila ekosistem pesisir yang menopang hidup nelayan perlahan mati? Bagaimana menyebut “kesejahteraan” bila jalan umum rusak, mengganggu akses masyarakat menuju pusat kabupaten? Bukankah cerita tentang jari yang putus menunjukkan betapa jauh jarak antara pidato dan realitas.
Saya teringat John Dowling dan Jeffrey Pfeffer, dua sarjana teori organisasi, dalam Organizational Legitimacy: Social Values and Organizational Behavior menyebut situasi ini sebagai upaya “menutup jurang” antara wish image dan current image. Tetapi jurang itu justru semakin nyata ketika simbol—berupa penghargaan, pidato, piagam—berhadapan dengan bukti fisik yang dilihat masyarakat sehari-hari.
William Benoit bahkan mengingatkan, strategi image repair tidak bisa menutupi fakta lapangan. Alih-alih memperbaiki citra, retorika yang terlalu muluk justru memperlebar kecurigaan publik.
Semua ini memperlihatkan satu pola: perusahaan berusaha membangun wish image—teladan K3, ramah lingkungan, kontributor pembangunan daerah—tetapi current image yang dialami publik bercerita sebaliknya. Dan dalam benturan itu, warga belajar untuk membaca simbol dengan lebih kritis. Kita tahu, ada wajah lain yang tak diundang dalam seremoni penghargaan: wajah laut yang keruh, wajah jalan yang hancur, wajah buruh yang diam-diam menanggung luka.
Goenawan Mohamad pernah menulis bahwa citra, pada akhirnya, hanyalah “kata” yang bisa ditiup angin. Yang menetap adalah pengalaman sehari-hari. Ketika masyarakat pesisir tiap hari melihat air yang semakin keruh, maka kata “keberlanjutan” tak lagi bermakna. Ketika orang-orang di Halmahera Timur harus melewati jalan yang terbelah oleh kendaraan tambang, maka kata “pembangunan” hanya tinggal slogan. Dan ketika pekerja kehilangan jari, maka “keselamatan kerja” terdengar ironis.
Barangkali di sinilah fungsi tulisan ini: untuk mengingatkan bahwa antara simbol dan kenyataan selalu ada pertarungan. Pencitraan akan terus diproduksi, penghargaan akan terus dibagikan, dan laporan keberlanjutan akan terus ditulis. Tetapi lumpur di Moronopo, jalan yang rusak, dan tubuh-tubuh pekerja yang luka tetap menyimpan kebenaran yang tak bisa dihapus oleh piagam. Pada akhirnya, publik akan selalu lebih percaya pada apa yang mereka lihat, rasakan, dan alami, ketimbang apa yang ditulis berita.***
Tinggalkan Balasan